Text
Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi & Keadilan Gender
Pemenuhan yang inklusif dan utuh sangat penting untuk kesejahteraan setiap orang atas HKSR. Pemenuhan HKSR juga merupakan prasyarat untuk mencapai keadilan gender. HKSR tidak dapat diisolasi sebagai isu kesehatan belaka. Tidak terpenuhinya hak ini dapat berdampak pada ketidakberdayaan dan masuknya perempuan ke dalam berbagai lingkaran setan, seperti tercerabutnya akses pendidikan, kerja, kesehatan, kerentanan atas kekerasan seksual, kekerasan dalam rumah tangga, dan lain sebagainya. Hak kesehatan seksual dan reproduksi (HKSR) adalah isu feminisme dan HAM. Sejumlah sarjana feminis percaya bahwa sejarah telah menunjukkan bahwa kapasitas reproduksi perempuan telah digunakan sebagai alat untuk menindas perempuan. Untuk menjamin kesetaraan gender, otonomi dan kebebasan reproduksi menjadi inti perjuangan hak reproduktif (Collins 1987). Perjuangan feminis telah membawa capaian diakuinya HKSR sebagai hak yang harus dilindungi secara global. Sejak diadopsinya ICDP oleh 179 negara di dunia tahun 1994, HKSR adalah hak yang harus dilindungi oleh setiap negara yang meratifikasi ICDP, termasuk Indonesia. Kesetaraan dalam kesehatan reproduksi meliputi akses layanan kesehatan yang tanpa diskriminasi dan terjangkau terjangkau, kontrasepsi yang berkualitas termasuk kontrasepsi darurat (UHHCR 2017). Kendati demikian, hampir 30 tahun sejak saat itu masih terdapat banyak hambatan bagi perempuan, anak, dan kelompok rentan lainnya untuk mengakses HKSR. UNFPA dalam laporannya program 2018--2023 di Indonesia menyatakan bahwa tahun 2018 Indonesia menghadapi sejumlah tantangan terkait penyediaan layanan kesehatan seksual dan reproduksi secara merata. Setidaknya ada beberapa isu yang menjadi tantangan utama, yaitu kematian ibu dan kualitas pelayanan kesehatan yang tidak optimal; kebutuhan KB yang tidak terpenuhi; kehamilan remaja serta kurangnya akses terhadap informasi dan layanan kesehatan seksual dan reproduksi; dan kekerasan berbasis gender serta praktik berbahaya terhadap perempuan dan anak perempuan (UNFPA 2023). Seluruh persoalan ini terus direproduksi di Indonesia karena implementasi dari HKSR sering kali ditolak dengan membenturkannya dengan nilai agama dan budaya (UNHCR 2017), menghasilkan eksklusi perempuan dari mendapatkan penyelamatan nyawa, perawatan, obat-obatan, dan informasi yang komprehensif terkait seksual dan reproduksi. Artinya, perjuangan reproduksi berbasis hak saja tidak cukup. Dalam diskursus reproduksi dan seksual, telah terjadi pergeseran paradigma. Perjuangan awal dimulai dari desakan atas akses kesehatan, bergerak pada tataran desakan hak reproduksi yang berfokus pada kebebasan reproduksi perempuan melalui sistem hukum. Kerangka hak telah memberikan sumbangan besar bagi keadilan gender dalam reproduksi, isu yang diperdebatkan mencakup hak aborsi, pendidikan seks, dan perencanaan keluarga. Kerangka ini memungkinkan gerakan feminisme di seluruh dunia untuk mendesak tanggung jawab negara atas HKSR perempuan. Namun demikian, efektivitas hukum yang berlaku dalam jaminan hak reproduksi tidak secara proporsional melihat bahwa ada persoalan interseksional dalam kerangka pembahasannya. Penegakan hak reproduksi harus dibarengi bersamaan dengan perjuangan keadilan sosial (Pacia 2020; Ross 2017). Jika tidak, maka yang terjadi adalah pertama, hadirnya kebijakan HKSR yang tidak akomodatif dan diskriminatif terhadap perempuan. Kedua, sekalipun telah ada aturan yang membawa ide atau peluang pemenuhan HKSR, namun pada implementasinya, perempuan akan tetap sulit atau bahkan tidak dimungkinkan mengaksesnya karena nilai dan praktik institusi dan komunitas setempat. Menurut Ross (2017), relasi antara ras, kelas, identitas gender, disabilitas, masyarakat adat, keragaman gender, dan identitas lainnya perlu diperiksa bersamaan dengan hak reproduksi (2017). Persoalan seperti aborsi, kontrasepsi, HIV/AIDS, praktik budaya yang berbahaya, dan kekerasan berbasis gender adalah beberapa isu keadilan reproduksi yang diangkat dalam Jurnal Perempuan edisi 114 menggunakan matra feminisme. Di dalam keadilan reproduktif dan di dalam JP 114 ini, isu aborsi adalah isu penting dalam perjuangan feminisme sebab persoalan, seperti kriminalisasi aborsi, ketidaktersediaan layanan aborsi, dan stigma masyarakat adalah isu yang selalu berkelindan di dalamnya, seperti Lidwina Inge dalam artikelnya membahas tentang bagaimana aborsi dipersepsikan dalam Pasal 463 KUHP Baru yang dibandingkan dengan UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan melalui perspektif hukum feminis dalam 2 putusan MA. Maria Ulfah Anshor mempersoalkan mengenai hak korban kekerasan seksual terhadap akses
viJurnal Perempuan, Vol. 28 No. 1, April 2023aborsi. Menurutnya, hukum dan pemahaman agama bermasalah sebab tidak memiliki logika keberpihakan pada korban. Yogi Paramitha Dewi mengkaji pengaturan aborsi sebagai bagian dari hak kesehatan seksual dan reproduksi melalui lensa feminisme dengan membedah derajat pengakuan atas integritas tubuh, personhood, kesetaraan, dan keberagaman perempuan. Abby Gina Boang Manalu& Asri Pratiwi Wulandarimerefleksikan secara kritis dengan lensa feminisme tentang situasi ketidakadilan reproduktif dalam isu aborsi di Indonesia berdasarkan pengetahuan aktivis perempuan yang mengadvokasi HKSR. Selain isu aborsi, edisi ini juga secara kritis membincang keterkaitan antara Hak Kesehatan Reproduksi dan Seksual dalam Kerapuhan Sistem Pangan Komunitas di Perdesaan Indonesia, khususnya di Desa Darim dengan menggunakan lensa ekologi politik feminis di dalam artikel Widya Hasian Situmeang, Fairuz Rafidah Aflaha, & Wahyu Ridwan Nanta. Edisi ini juga membincang tentang pemenuhan HKSR dalam konteks Papua yangmelingkupi isu-isu spesifik, seperti KTD, HIV/AIDS, dan kekerasan terhadap perempuan, penelitian ini ditulis oleh Desintha Dwi Asriani, Godefridus Samderubun, & Eling Wening Pangestu. Topik lain yang juga amat penting dan terjadi di Indonesia adalah praktik budaya yang berbahaya bagi perempuan. Adinda Putri Kirana Lutfi & Sri Lestari Wahyuningroem memeriksa persoalan sunat perempuan di Banten berbasis pada kritik politik identitas. Pemikiran Okin (1989) dan Young (1990) dipakai sebagai alat untuk memeriksa ketimpangan dalam tradisi tersebut. Seluruh penelitian ini menunjukkan bahwa keadilan reproduktif adalah isu yang berkelindan antara kesehatan, hak, dan budaya. Ia dibangun berdasarkan perjuangan di tingkat lokal, nasional, dan global yang mengakomodasi situasi-situasi ketidakadilan reproduktif yang amat plural. Penelitian ini bertujuan memperkaya diskursus HKSR dan Keadilan Gender di Indonesia (Abby Gina).
Tidak tersedia versi lain