Text
Jurnal perempuan edisi 117 "Penghapusan Kekerasan Seksual dan Keadilan Gender"
Jurnal Perempuan, Vol. 29 No. 1, 2024
Lembar Abstrak/Abstracts Sheet
Andi Misbahul Pratiwi1, Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah2,
Lia Anggiasih3, Junito Drias4, & Ayu Siantoro5
University of Leeds1, Sekolah Kajian Stratejik dan Global,
Universitas Indonesia2, & Wahana Visi Indonesia3,4,5
“Kami Butuh Dukungan Melampaui Kebijakan”: Tantangan
Pelayanan Terpadu Kekerasan Seksual di Provinsi
Kalimantan Barat dan Sulawesi Tengah
“We Need More Beyond the Policies”: The Challenges of Integrated
Services for Sexual Violence in West Kalimantan and Central
Sulawesi Provinces
Kode Naskah: DDC 305
Jurnal Perempuan, Vol. 29 No. 1, 2024, hlm. 1–16, 3 tabel, 38 daftar
pustaka
The Law on Sexual Violence Crimes (Indonesian: Undang-Undang
Tindak Pidana Kekerasan Seksual, abbreviated as UU TPKS) brings hope
amid the continuously rising rates of sexual violence in Indonesia. The
UU TPKS guarantees legal certainty for victims, victims’ families, and
witnesses, ensuring they receive care facilities, protection, and recovery.
The UU TPKS mandates that both the central and local governments
provide integrated services for handling, protecting, and recovering
from sexual violence cases. These integrated services are crucial for
eradicating sexual violence and preventing its recurrence in the future.
This article is part of research conducted by Wahana Visi Indonesia and
the Gender Research Center of the University of Indonesia in 2023. The
research aimed to map the readiness of local governments in West
Kalimantan and Central Sulawesi Provinces to implement the UU TPKS.
The study was conducted in seven regencies/cities: Kubu Raya Regency,
Bengkayang Regency, Landak Regency, Palu City, Donggala Regency,
Parimo Regency, and Sigi Regency. The research found that local
policies support the implementation of the UU TPKS. However, there are
still various challenges in realising integrated services for victims. These
challenges include a lack of commitment to ensuring the availability of
budgets, human resources, and effective working mechanisms in each
institution. Ultimately, these challenges hinder sexual violence victims
from accessing the justice envisioned in the UU TPKS.
Keywords: local policies, sexual violence, implementation of sexual
violence crime law, integrated services
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana
Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang diundangkan pada 9 Mei 2022
menjadi harapan di tengah terus meningkatnya angka kekerasan
seksual di Indonesia. UU TPKS memberikan jaminan atas penanganan,
pelindungan, dan pemulihan bagi korban, keluarga korban, dan saksi.
UU TPKS memberikan mandat tidak hanya kepada pemerintah pusat,
tetapi juga pemerintah daerah untuk menyelenggarakan pelayanan
terpadu penanganan, pelindungan, dan pemulihan kekerasan
seksual. Pelayanan terpadu merupakan salah satu upaya kunci dalam
pemberantasan TPKS dan mencegah keberulangan kasus di masa
depan. Artikel ini merupakan sebagian dari hasil penelitian Wahana
Visi Indonesia (WVI) dan Pusat Riset Gender Universitas Indonesia di
tahun 2023 untuk memetakan kesiapan pemerintah daerah dalam
implementasi UU TPKS di Provinsi Kalimantan Barat dan Sulawesi
Tengah. Penelitian ini dilakukan di 7 Kabupaten/Kota, yaitu Kabupaten
Kubu Raya, Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Landak, Kota Palu,
Kabupaten Donggala, Kabupaten Parimo, dan Kabupaten Sigi.
Penelitian ini menemukan bahwa telah tersedia kebijakan daerah yang
menjadi modalitas dalam mendukung implementasi UU TPKS. Namun
di sisi lain, masih terdapat berbagai tantangan yang dialami dalam
mewujudkan pelayanan terpadu bagi korban. Tantangan tersebut
berakar pada minimnya komitmen memastikan ketersediaan anggaran,
Sumber Daya Manusia (SDM), dan mekanisme kerja di masing-masing
institusi. Pada akhirnya menghambat korban kekerasan seksual untuk
mengakses keadilan yang dicita-citakan dalam UU TPKS.
Kata kunci: kebijakan daerah, kekerasan seksual, implementasi UU
TPKS, pelayanan terpadu
Antik Bintari
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Padjadjaran
Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik:
Permasalahan dan Respons terhadap Kasus
Cyber Sexual Harassment: Issues and Response to Case
Kode Naskah: DDC 305
Jurnal Perempuan, Vol. 29 No. 1, 2024, hlm. 17–29, 1 tabel, 65 daftar
pustaka
Cyber sexual harassment is a common and dangerous form of
aggression perpetrated against women, yet little attention has been
paid to attitudes related to sexual violence in cyberspace. The increase
in violence against women, including sexual violence in cyberspace, has
become a global concern; this increase is in line with the development
of social media in Indonesia. There is new hope since the enactment of
Law Number 12 of 2022 concerning Criminal Acts of Sexual Violence
(UU TPKS), which is expected to provide guarantees of prevention,
protection, access to justice and recovery, as well as comprehensive
fulfillment of victims’ rights which have never been obtained until now.
It is hoped that this policy will also serve as a legal framework to address
cybersexual violence. However, after almost two years of having passed
the TPKS Law, this regulation’s implementation still faces challenges. It
is not yet optimal in handling cyber sexual violence, which tends to be
considered an act of sexual violence with new methods and means in
line with current technological developments. This article discusses the
current phenomenon of cyber sexual harassment and further explores
the response of the Indonesian state/government to this phenomenon,
along with its opportunities and challenges.
Keywords: sexual harassment, cyber sexual harassment, Sexual Violence
Crime Law
Kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE) merupakan bentuk agresi
yang lazim dan berbahaya yang dilakukan terhadap perempuan,
namun hanya sedikit perhatian yang diberikan terhadap sikap-sikap
yang berkaitan dengan kekerasan seksual di dunia maya. Peningkatan
kekerasan terhadap perempuan, termasuk kekerasan seksual di dunia
maya, telah menjadi perhatian dunia, peningkatan ini sejalan dengan
perkembangan media sosial di Indonesia. Terdapat harapan baru
semenjak lahirnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang
Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang diharapkan dapat
memberikan jaminan pencegahan, pelindungan, akses keadilan, dan
pemulihan, serta pemenuhan hak-hak korban secara komprehensif
yang selama ini tidak pernah didapatkan. Hal ini tentu diharapkan
menjadi angin segar bagi penegakan hukum terhadap segala bentuk
kekerasan seksual termasuk kekerasan seksual berbasis elektronik.
Namun demikian, setelah hampir dua tahun memiliki UU TPKS disahkan,
implementasi regulasi tersebut masih menghadapi tantangan dan
belum optimal dalam penanganan kekerasan seksual siber yang
cenderung dianggap tindak kekerasan seksual dengan metode dan
cara baru seiring dengan perkembangan teknologi saat ini. Tulisan ini
membahas bagaimana fenomena kekerasan seksual berbasis elektronik
saat ini dan selanjutnya menggali lebih lanjut respons pemerintah
viii
Jurnal Perempuan, Vol. 29 No. 1, 2024
Indonesia terhadap fenomena kasus tersebut beserta peluang dan
tantangannya.
Kata kunci: kekerasan seksual, kekerasan seksual berbasis elektronik,
UU TPKS
Tidak tersedia versi lain